Pancasila Sebagai Ilmu Pengetahuan
Pancasila
Sebagai suatu Ilmu Pengetahuan
pancasila 4.bp.blogspot.com/
Dewasa ini dengen perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin maju mengarahkan masyarakt untuk terus
bepacu dengan perkembangan tersebut. Ilmu-ilmu pengetahuan yang pada dasarnya
tidak ada satupun yang tidak bermanfaat sekecil apapun ilmu pengetahuan yang
didapatkan pasti itu akan sangat berguna bagi kehidupan. Namun dalam
realitasnya banyak orang-orang yang hidup dinegara ini termaksud para peserta
didik terlena dengan arus perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi tersebut
sehingga banyak yang mengabaikan ilmmu pengetahuan yang menjadi jati dirinya
dan keperibadianya sebagai warga negara Indonesia.
Pancasila dianggap hanya sebagai
sila-sila yang berdiri kaku dan hanya dihafal dalam pembacaan teksnya di hari
upcara pada hari senin di setiap sekolah. Setelahnya pancasila tetap ada dalam
sebuah kertas yang tersimpan rapi dalam meja guru atau meja ruangan sekolah
untuk menyimpan perlengkapan. Dalam kegiatan dan proses pembelajar baanya
guru-guru yang melupakan menanamkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan mereka
sehari-hari sehingga akan terus seperti setiap harinya dan sampai kapanpu.
Maka jangan heran jika anda melihat
bagaimana diberitakan dalam berbagai media banyak penyimpangan yang terjadi
baik skalanya yang besar atau dengan skala yang kecil. Seperti ada peserta
didik yang bertauran, memukul temanya, meminum obat-obatan terlarang, tidak
menghargai teman yang berbeda suku dan sampai melawan gurunya sendiri. Selayaknya
seorang guru harus lebih memahami bahwa pancasila itu tidak berdiri kiki hanya
dengan lima sila tersebut melainkan lebih dari hal tersebut pancasila merupakan
suatu ilmu pengetahuan yang harus dipelajari secara mendalam agar bisa
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pancasila sebagai ilmu pengetahuan
Pengetahuan manusia bersifat evolutif, terus-menerus
berkembang dan bertambah juga dapat berkurang. Pengetahuan yang dikejar manusia
identik dengan pengejaran kebenaran. Oleh karena itu kalau seseorang memperoleh
pengetahuan, maka diandaikan pengetahuan yang diperolehnya adalah benar. Ada
beberapa kriteria tentang kebenaran yang sejak dulu dijadikan acuan para
ilmuwan dalam mendapatkan pengetahuan. Untuk mengetahui suatu objek kajian
apakah itu termaksud dalam suatu ilmu pengetahuan atau tidak maka dapat
digunakan langkah dengan cara yang sesuai dengan cirri-ciri berpikir ilmiah,
berikut ini uraian dari pancasila jika dikaitkan dengan cirri-ciri berpikir
ilmiah.
Ilmu pengetahuan merupakan kumpulan usaha manusia untuk
memahami kenyataan sejauh dapat dijangkau oleh daya pemikiran manusia
berdasarkan pengalaman secara empirik dan reflektif. Ada syarat-syarat tertentu
yang harus dipenuhi sehingga pengetahuan itu dapat dikatakan sebagai suatu
ilmu. Poedjawijatna menyebutnya sebagai syarat ilmiah (Kaelan, 1998), yaitu:
1.
Berobjek
2.
Bermetode
3.
Bersistem
4.
Bersifat umum/universal.
1).
Berobjek
Syarat
pertama bagi suatu kajian ilmiah adalah berobjek. Objek dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu objek material dan objek formal.
Objek material
atau sasaran kajian adalah bahan yang dikaji dalam pencarian kebenaran ilmiah,
sedang Objek formal adalah pandang pendekatan (perspektif) atau titik tolak
dalam mendekati objek material. Objek material dalam membahas Pancasila sebagai
kajian ilmiah dapat bersifat empiris maupun non-empiris. Objek material
tersebut adalah pernyataan-pernyataan, pemikiran, ide/konsep, kenyataan
sosio-kultural yang terwujud dalam hukum, teks sejarah, adat-istiadat, sistem
nilai, karakter, kepribadian manusia / masyarakat Indonesia sejak dahulu sampai
sekarang. Objek material ini dapat terwujud di dalam pemikiran para tokoh pendiri
negara maupun tokoh-tokoh ilmuwan dan politisi, negarawan Indonesia. Juga dapat
ditelusuri dari berbagai peninggalan sejarah, dalam teks-teks sejarah dan
simbol-simbol yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Di samping itu kajian
ilmiah juga dapat dilakukan terhadap berbagai aktivitas dan perilaku manusia
Indonesia sekarang ini dari berbagai bidang, seperti politik, hukum, ekonomi,
pendidikan dan lain-lain.
Objek formal dalam membahas
Pancasila dapat dilakukan dari perspektif ilmu-ilmu seperti hukum (yuridis),
politik, sejarah, filsafat, sosiologi dan antropologi maupun ekonomi. Pada
hakikatnya Pancasila dibahas dari berbagai macam sudut pandang, sudut pandang
hukum dan kenegaraan, maka terdapat pembahasan tentang Pancasila Yuridis
Kenegaraan, sudut pandang sejarah akan memperoleh pembahasan tentang Sejarah
Pancasila Melalui objek formal ini akan diperoleh berbagai macam pengetahuan
tentang Pancasila yang bersifat deskriptif, kausalitas, normatif dan esensial.
Obyek forma atau sudut pandang apa Pancasila itu dibahas, yang pada hakekatnya
Pancasila dapat dibahas dalam berbagai sudut pandang, yaitu dari sudut pandang “moral”
maka terdapat bidang pembahasan “moral Pancasila” , dari sudut
pandang “ekonomi” maka terdapat bidang pembahasan “ekonomi Pancasila”,
dari sudut pandang filsafat, maka terdapat bidang pembahasan Filsafat Pancasila
dan sebagainya.
Untuk mengetahui lingkup kajian ilmiah terhadap Pancasila dapat
digunakan pertanyaan-pertanyaan ilmiah sebagaimana halnya dalam pengkajian
lainnya. Pertanyaan ilmiah “bagaimana” akan diperoleh jawaban ilmiah berupa
pengetahuan deskriptif. Pertanyaan “mengapa” akan diperoleh jawaban pengetahuan
kausal, yaitu suatu pengetahuan yang memberikan jawaban tentang sebab dan
akibat. Dalam kaitannya dengan kajian tentang Pancasila, maka pengetahuan sebab
akibat berkaitan dengan kajian proses kasualitas terjadinya Pancasila yang
meliputi empat kausa, yaitu: causa materialis, causa formalis, causa
effisiens dan causa finalis.
Causa materialis Pancasila adalah sebab bahan yang menjadikan
Pancasila itu ada, yaitu sistem nilai dan budaya masyarakat Indonesia. Causa
formalis adalah sebab bentuk yang menjadikan Pancasila ada yaitu rumusan
Pancasila yang berurutan mulai dari sila pertama sampai dengan sila kelima
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Causa effisiens adalah sebab
karya atau proses kerja sehingga Pancasila itu ada, yaitu proses sidang-sidang
BPUPKI dan PPKI. Causa finalis adalah sebab tujuan diadakannya Pancasila, yaitu
sebagai dasar negara R.I.
Pertanyaan
“ke mana” akan menghasilkan jawaban berupa pengetahuan normatif. Pengetahuan
ini senantiasa berkaitan dengan suatu ukuran, standar serta norma-norma.
Dalam membahas Pancasila tidak cukup hanya berupa hasil deskripsi atau
hasil kausalitas belaka, melainkan perlu untuk dikaji norma-normanya, karena
Pancasila itu untuk diamalkan, direalisasikan serta diimplementasikan dalam
perbuatan. Untuk itu harus ada norma-norma yang jelas terutama dalam norma
hukum sebagai pedoman hidup bernegara yang berdasar Pancasila. Dengan kajian
normatif ini dapat dibedakan secara normatif realisasi atau pengamalan
Pancasila yang seharusnya dilakukan (das Sollen) dari Pancasila dan
realisasi Pancasila dalam kenyataan faktualnya (das Sein) yang
senantiasa berkaitan dengan dinamika kehidupan serta perkembangan zaman.
Pertanyaan “Apa” akan menghasilkan jawaban yang bersifat
esensial, yaitu suatu pengetahuan yang terdalam, pengetahuan tentang hakikat
segala sesuatu. Hal ini terutama dikaji dalam bidang filsafat. Oleh karena itu
kajian Pancasila secara essensial pada hakikatnya untuk mendapatkan suatu
pengetahuan tentang intisari atau makna yang terdalam dari sila-sila Pancasila
atau secara ilmiah filosofis untuk mengkaji hakikat sila-sila Pancasila.
2).
Bermetode
Metode induksi dan deduksi juga merupakan metode berpikir yang sering
digunakan dalam pengetahuan ilmiah yang dapat digunakan untuk mengkaji
Pancasila. Contoh penggunaan metode analisisi-sintesis untuk mencari kebenaran Pancasila,
yaitu: sila Ketuhanan Yang Maha Esa diperinci menjadi bagian yang lebih kecil,
sehingga diperoleh rincian kata-kata: ketuhanan, yang, maha, esa. Kata
Ketuhanan dapat diperinci menjadi: ke – tuhanan. Kemudian dicari makna yang
terdalam dari masing-masing kata tersebut. Selanjutnya makna masing-masing kata
digabungkan menjadi satu pengertian yang lebih komprehensif (utuh menyeluruh)
yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat.
Metode induksi adalah metode berpikir yang dimulai dari hal-hal yang
bersifat khusus, kejadian atau peristiwa khusus dan kejadian berulang-ulang
untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Penerapan metode induksi
dalam Pancasila dapat dicontohkan sebagai berikut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
dirumuskan oleh para pendiri negara sebagai pernyataan umum. Sila ini diperoleh
dari hasil berpikir induksi setelah melihat dan menyimpulkan dari peristiwa dan
kebiasaan sebagian besar masyarakat Indonesia di berbagai daerah di tanah air
yang menunjukkan adanya keyakinan agama, tempat-tempat ibadah dan orang orang
yang beribadah sebagai wujud kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh para
pendiri negara fenomena dan peristiwa di masyarakat tersebut disimpulkan secara
umum dalam bentuk generalisasi bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
berketuhanan Yang Maha Esa.
Metode deduksi adalah metode berpikir yang bertitik tolak
dari hal-hal yang bersifat umum atau pernyataan umum untuk ditarik kesimpulan
yang bersifat khusus. Contoh penerapan metode deduksi dalam mengkaji Pancasila
adalah dalam silogisme sebagai berikut.
Pernyataan
umum : Semua bangsa di dunia berhak merdeka
Pernyataan
khusus : Indonesia adalah sebuah bangsa
Kesimpulan
: Indonesia berhak untuk merdeka
Pernyataan
tersebut merupakan alinea-alinea dari Pembukaan Undang-undang 1945. Pernyataan
umum merupakan alinea pertama, pernyataan khusus merupakan alinea kedua, dan
kesimpulan merupakan alinea ketiga.
3.
Bersistem
Pengetahuan
ilmiah seharusnya merupakan suatu kesatuan yang bulat dan utuh.
Bagian-bagiannya harus saling berhubungan dan ketergantungan (interelasi dan
interdependensi). Pemahaman Pancasila secara ilmiah harus merupakan satu
kesatuan dan keutuhan, bahkan Pancasila itu sendiri pada dasarnya juga merupakan
suatu kebulatan yang sisitematis, logis dan tidak ada pertentangan di dalam
sila-silanya (Kaelan, 1998). Syarat bersistem yang dipenuhi oleh Pancasila
menunjukkan bahwa Pancasila merupakan hasil pemikiran para pendahulu negara
yang dirumuskan dengan kecermatan yang tinggi dan bersifat logis. Sila-sila
Pancasila tersusun secara logis sehingga membentuk suatu pemikiran yang
sistematis.
Notonagoro mengatakan bahwa sila-sila Pancasila tersusun secara
hierarkis piramidal dan bersifat majemuk-tunggal. Hierarkis piramidal maksudnya
sila-sila Pancasila ditempatkan sesuai dengan luas cakupan dan keberlakuan
pengertian yang terkandung di dalam sila-silanya. Sila pertama diletakkan pada
urutan pertama, karena pengertian ketuhanan maknanya sangat luas, terutama menunjuk
pada eksistensi Tuhan sebagai Pencipta, asal usul segala sesuatu atau dalam
istilah Aristoteles disebut sebagai Causa Prima (Penyebab Pertama).
Kemanusiaan ditempatkan pada urutan kedua, karena pengertian manusia itu sangat
luas tetapi jika dibandingkan dengan konsep ketuhanan sudah lebih sempit
cakupannya. Manusia hanyalah sebagian dari ciptaan Tuhan, di samping makhluk
lain yang ada di alam semesta. Inti sila ketiga adalah persatuan, yang cakupan
pengertiannya lebih sempit dari sila pertama dan kedua, karena persatuan
menunjukkan adanya kelompok-kelompok manusia sebagai makhluk sosial atau zoon
politicon. Kelompok ini dapat realitasnya membentuk satuan ras, etnis,
bangsa dan negara. Jadi, adanya kelompok mensyaratkan adanya manusia yang
merupakan ciptaan Tuhan.
Sila keempat berintikan kerakyatan, artinya dalam sebuah kelompok
manusia yang bersatu (bangsa yang menegara) memerlukan sebuah sistem
pengelolaan hidup bersama dengan adanya kedaulatan. Tata kelola negara modern
sekarang ini umumnya menggunakan prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi).
Demokrasi merupakan salah satu cara dari berbagai macam model pemerintahan yang
ada sekarang. Demokrasi yang dikembangkan di Indonesia adalah demokrasi yang
mendahulukan musyawarah untuk mencapai mufakat berdasarkan pada hikmah
kebijaksanaan, walaupun tidak menutup diri terhadap pengambilan suara terbanyak
(voting) dalam membuat keputusan-keputusan. Sila kelima berintikan
keadilan, merupakan sila yang paling khusus cakupan pengertiannya. Hal ini
dapat dijelaskan bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan bersatu membentuk bangsa
dan negara dengan sistem demokrasi mempunyai tujuan bersama yaitu untuk
mencapai keadilan keadilan. Dengan demikian sila kelima ini merupakan realisasi
dari eksistensi manusia yang hidup berkelompok dalam sebuah negara.
4.
Universal
Kebenaran
suatu pengetahuan ilmiah relatif berlaku secara universal, artinya kebenarannya
tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Demikian pula, kajian terhadap pancasila
dapat ditemukan bahwa nilai-nilai terdalam yang terkandung dalam masing-masing
sila Pancasila bersifat universal, yaitu: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan keadilan. Nilai-nilai ini dapat diketemukan dalam pemahaman
masyarakat di seluruh dunia, hanya saja terdapat perbedaan dalam penggunaan kata-katanya.
Kata ketuhanan memiliki makna yang hampir sama dengan religiusitas, kata
kemanusiaan analog dengan kata humanisme, persatuan analog dengan nasionalisme,
kerakyatan analog dengan demokrasi, sedangkan keadilan analog dengan
kesejahteraan.
Jadi jelaslah bahwa pancasila sebagai suatu ilmu pengetahuan dapat dikaji kebenaranya
melalui teori-teori kebenaran dan fakta-fakta yang nyata dalm realitas
kehidupan manusia dan untuk memahami pancasila sebagai ilmu pengetahuan
dapat pula digunakan ciri berpikir ilmiah yang bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang terlintas dalam pancasila. Pancasila dapat dikatakan
sebagai ilmu pengetahuan karena pancasila dapat menjawap pertanyaan apa,
bagaima, mengapa, dan dimana. Hal tersebut
haruslah menjadi pegangan bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk guru-guru
yang mendidik para calon generasi bangsa agar tidak menganggap bancasila
sebagai sesuatu yang kaku dari lima sila itu saja. Guru dapat menjadikan
pancasila sebagai suatu hal yang menjadi landasan dalam mengembangkan sikap social
peserta didik karena dari sejarah dan
muatan nilai dari pancasila sudah mengarahkan pada hal yang bermuara
kekehidupan social.
Daftar Pustaka
v Priyanto,
2004. Pendidikan pancasila Perguruan
Tinggi. Makasar : Tim Doen Pancasila Universitas Hasanudin
v Kaelan,
2005. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
v Notonagoro.1987.
Pancasila secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tujuh.
v Rambu-Rambu
MPK di Perguruan Tinggi, Ditjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional Renstra
UNY 2006-2010.
mksih infonya mas
ReplyDeletesama-sama
ReplyDeleteKeren banget mas artikel nya, saran saya kalimat kalimatnya lebih diperhatikan lagi soalnya masih banyak yg typo hehe.
ReplyDelete